Minggu, 27 Mei 2012

Sejarah Singkong Gajah


Prestasi baru di dunia tanaman pangan kembali terjadi. Setelah ditemukannya varietas benih padi yang mampu tandingi padi hibrida dari segi produktivitas dengan markas riset di Lampung, kini hadir varietas singkong berukuran jumbo yang ditemukan seorang profesor asal Samarinda, Kalimantan Timur.

Adalah Profesor Dr Ristono MS, mantan dosen di Universitas Mulawarman, yang sukses menemukan varietas singkong jumbo tersebut. Julukan “jumbo” pada singkong temuannya itu tak berlebihan mengingat ukurannya yang super besar dibanding singkong pada umumnya. Tengok saja berat umbinya yang bisa mencapai 60 kg per pohon padahal singkong biasa per pohon hanya berumbi maksimal seberat 3 kg.

Penelitian singkong yang juga terkenal dengan sebutan singkong gajah ini memakan waktu relatif lama. Profesor Ristono menghabiskan waktu sekitar 10 tahun, dari tahun 1992 sampai 2002, dengan melakukan serangkaian percobaan seperti pencangkokan singkong lokal dengan singkong karet. Setelah sukses bereksperimen, singkong berukuran jumbo dengan varietas yang layak untuk dikonsumsi pun ditemukannya.

Menurut profesor Ristono yang juga berprofesi sebagai Guru Besar STT Migas Balikpapan, cara tanam singkong yang varietasnya hanya bisa dijumpai di Kalimantan Timur ini tergolong mudah. Dengan sistem stek, yakni memotong batang singkong lalu menanamnya ke tanah yang gembur, pun bisa tumbuh. Hasil dari cocok tanam seperti itu menghasilkan panen berbeda kualitas dengan yang hasil tanam melalui proses okulasi atau pencangkokkan.

Bertekad membudidayakan singkong gajah ini, prof Ristono menggandeng LSM Borneo Environment Community (BEC), menggarap lahan seluas 2 hektare untuk budi daya singkong gajah di daerah Barambai, Sempaja Utara. Upaya untuk terus membudi daya singkong jumbo itu juga dilakukannya di daerah lain yang meliputi Desa Bukit Parianan, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara, Desa Lamaru Balikpapan, Desa Sepaku Penajam Paser Utara, Berau, Malinau, Paser serta Universitas Borneo Tarakan.

Profesor Ristono mengungkapkan, modal yang dibutuhkan untuk membudi daya singkong gajah ini relatif besar. Lulusan Universitas Tokyo, Jepang, itu menuturkan, diperlukan dana antara Rp10 juta sampai Rp20 juta per hektarenya guna pembukaan dan penyiapan lahan, pembelian bibit, pupuk, pemeliharaan dan biaya lain pascapanen. Namun modal yang besar itu sepadan dengan panen yang diperoleh. Profesor Ristono menjelaskan, saat singkong gajah berusia 4-9 bulan, beratnya bekisar 15-46 kg. Dibandingkan dengan singkong biasa dengan masa tanam yang sama, yakni 2-5 kg, singkong gajah tentu lebih unggul.

Selain unggul dalam bidang berat, singkong jumbo juga mempunyai keunggulan di bidang cita rasa dan daya tahan terhadap serangan hama. Singkong gajah ini dinilai mengandung cita rasa yang lebih gurih dan teksturnya pun juga lebih lunak dibanding singkong biasa. Lalu, apakah singkong “raksasa” ini mempunyai nilai ekonomis sebagai salah satu produk komoditas?

Sebagai penghitungan kasar, bila singkong gajah ditanam dengan jarak 1 meter pada luas lahan 1 hektare, berat rata-rata umbi untuk 1 cabutan batang adalah 20 kg. Bila ditanam dengan jarak 1,5-2 meter, berat umbi bisa mencapai 35 hingga 40 kg per batangnya. Dengan nilai jual di pasaran sekitar Rp2.000-Rp4.000 per kg, maka pendapatan yang diperoleh antara Rp100 juta hingga Rp200 juta per hektare.

Hitung-hitungan terburuknya, dengan harga Rp1.000 per kg pada saat panen raya maka hasil yang didapat adalah 20 kg x 10 ribu batang x Rp1.000 = Rp200 juta. Sungguh sangat menjanjikan, karena dengan modal Rp 20 juta, seorang petani singkong gajah dapat memperoleh pendapatan Rp200 juta dalam waktu 9 bulan. Itu baru dari hasil penjualan umbinya saja, belum dari produk-produk turunannya, atau pengolahan limbahnya. Maka tidak menutup kemungkinan, bakal lahir miliarder-miliarder baru berkat singkong temuan profesor Ristono ini. 
(sumber : http://ciputraentrepreneurship.com)